Kasus KDRT Dan Dampaknya Bagi Anak

Kekerasan Rumah Tangga (KDRT) kerap menjadi sebab perceraian sepasang suami istri, sering kali yang terjadi adalah suami yang memulai untuk melakukan kekerasan fisik kepada istri, padahal dalam UU Perkawinan tujuan suami istri membangun rumah tangga bukan untuk melakukan kekerasan satu sama lain terhadap pasangannya. Dalam UU Perkawinan dijelaskan bahwa sepasang suami istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing dalam berumah tangga, termasuk melindungi istrinya serta mencukupi kebutuhan dalam rumah tangganya merupakan kewajiban seorang suami, bukan malah melakukan kekerasan bahkan penelantaran terhadap istri. Adapun kewajiban suami istri yang tercantum dalam Pasal 33 UU Perkawinan, “Suami istri wajib cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.” Sudah seharusnya sepasang suami istri dapat melakukan serta mentaati bunyi dari Pasal tersebut, namun dengan adanya kondisi ekonomi, mental, maupun kondisi emosional yang tidak terkontrol dalam rumah tangga dapat memicu terjadinya KDRT hingga berujung perceraian.

Apakah KDRT hanya sebatas kekerasan fisik yang dilakukan suami kepada istri? Dalam komnasperempuan.go.id menjelaskan bahwa KDRT atau kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban, misalnya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu. Kekerasan ini dapat juga muncul dalam hubungan pacaran atau dialami oleh orang yang bekerja membantu pekerjaan rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, biasa disebut asisten rumah tangga (ART). Selain itu KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap perempuan anggota keluarga yang memiliki hubungan darah. Dalam Pasal 1 UU PKDRT pun dijelaskan bahwa “KDRT merupakan perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Kasus KDRT di Indonesia termasuk kasus yang mencapai jumlah tinggi, terlebih sejak pandemi covid-19 pada tahun 2020. Hal ini disampaikan oleh pihak Komisi Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada kompas.com bahwa sepanjang 2004-2021 tercatat kasus KDRT maupun kekerasan ranah personal berjumlah 544.452 kasus. Jumlah tersebut juga karena telah mengalami peningkatan sebesar 75% di masa pandemi covid-19. Kasus tersebut sesuai dengan catatan YLBH APIK yang mana biasanya hanya terjadi 30 kasus per bulannya, semenjak pandemi meningkat menjadi 90 kasus per bulan. Kasus peningkatan KDRT tersebut tentu disebabkan karena pandemi covid-19, selama masa pandemi banyak terjadi PHK di berbagai sektor perusahaan, juga pemotongan gaji maupun upah para pekerja, serta banyaknya bisnis yang juga harus gulung tikar, ditambah lagi pola mengasuh anak yang mengalami perubahan sejak pandemi karena anak-anak diharuskan untuk sekolah secara daring (dalam jaringan) dari rumah. Peristiwa tersebut menimbulkan tekanan baru bagi orang tua, sebagian besar orang yang terkena dampak di masa pandemi tentu mengalami stress dan beban jadi bertambah. Baik beban ekonomi maupun beban pendidikan serta emosi yang tidak dapat dikendalikan dirasakan bersamaan sehingga memacu untuk berbuat kekerasan pada pasangan maupun anak.

Bagaimanakah dampak yang terjadi jika seorang istri dan anak mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Dalam komnasperempuan.go.id disebutkan beberapa dampak KDRT terhadap anak, yaitu:

Anak-anak dalam keluarga yang dipenuhi kekerasan adalah anak yang rentan dan dalam bahaya karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

  • Laki-laki yang menganiaya istri dapat pula menganiaya anak.
  • Perempuan yang mengalami penganiayaan dari pasangan hidup dapat mengarahkan kemarahan dan frustasi pada anak.
  • Anak dapat cedera secara tidak sengaja ketika mencoba menghentikan kekerasan dan melindungi ibunya.
  • Anak akan sulit mengembangkan perasaan tenteram, ketenangan dan kasih sayang. Hidupnya selalu diwarnai kebingungan, ketegangan, ketakutan, kemarahan dan ketidakjelasan tentang masa depan. Mereka tidak belajar bagaimana mencintai secara tulus, serta menyelesaikan konflik dan perbedaan dengan cara yang sehat.
  • Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan adalah cara penyelesaian masalah yang wajar, boleh, bahkan mungkin seharusnya dilakukan. Anak lelaki dapat menjadi lelaki dewasa yang juga menganiaya istri dan anaknya, dan anak perempuan dapat saja menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak sebagai korban kekerasan. Anak perempuan dapat pula mengembangkan kebiasaan agresi dalam menyelesaikan masalah.

Dari beberapa penyebab KDRT serta dampaknya bagi anak yang telah dijelaskan oleh Komnas Perempuan bukanlah hal yang main-main, keadaan memang tidak pernah dapat kita kendalikan seutuhnya namun alangkah baiknya jika kita tidak kasar bahkan hingga melakukan kekerasan pada keluarga kecil kita. Karena sekali mendapat kekerasan fisik dari pasangan atau orang tua, perasaan trauma terus terbawa hingga menyebabkan ketakutan. Negara dan agama sudah mengatur tentang hal-hal baik yang seharusnya dilakukan dalam suami istri ketika berumah tangga, tetapi masih banyak orang yang melakukan kekerasan maupun kejahatan lain terhadap pasangannya bahkan anak-anaknya. Perlunya memikirkan dampak atas perilaku yang akan diperbuat, apakah perilaku tersebut bisa menimbulkan dampak buruk yang berkepanjangan atau tidak?

Leave a Comment