Perceraian Dalam Perkawinan Campuran dan Dampaknya Bagi Anak
Perkawinan campuran di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijelaskan sebagai perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Lahirnya anak dari perkawinan campuran menimbulkan berbagai akibat hukum terutama apabila terjadi perceraian, karena tidak hanya hukum 1 negara yang digunakan dalam memutus hak asuh anak, waris, hingga kewarganegaraan anak.
Sebagai contoh adalah kasus hak asuh anak dalam perkawinan campuran yang bercerai. Kasus ini merupakan kasus yang terjadi antara seorang wanita bernama Diana (Ibu) berkewarganegaraan Indonesia dan lelaki bernama Anuar bin Mohd Zaini (Ayah) berkewarganegaraan asing (Malaysia). Keduanya melangsungkan pernikahannya pada 2012 di Medan dan setelah menikah keduanya tinggal di Penang, Malaysia hingga memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Varisha Nurhidayah yang lahir di Malaysia dan berkewarganegaraan Malaysia. Akan tetapi pada 2017 ketika Anuar pulang kerja, istri dan anaknya tidak ada di rumah dan istrinya membawa anak mereka ke Indonesia tanpa sepengetahuannya serta membawa dokumen dokumen penting anak mereka. Anuar berusaha menghubungi istrinya dengan berkunjung ke Medan tetapi Diana dan Kedua orangtuanya mengusir dan menodongkan senjata tajam kepada Anuar ketika mencoba bertemu anaknya. Pada 2018, Anuar menerima pesan whatsapp dari Diana yang berisi putusan cerai dari Pengadilan Agama Medan dengan nomor perkara 1225/Pdt.G/2018/PA.Mdn., padahal Anuar tidak pernah menerima panggilan perceraian dari Pengadilan Agama dan dalam putusannya juga menyebutkan Diana berhak atas hak asuh anak mereka. Selama masa perkawinannya Diana tidak melayani batin suaminya selama 4 tahun dan sering memukul Varisha hingga rahangnya harus dijahit, dan akhirnya Diana melarikan diri bersama Varisha agar tidak dilaporkan ke polisi oleh Anuar. Anuar juga dihalangi berkomunikasi dengan anaknya tetapi hanya disuruh membayarkan nafkah bagi Varisha, dan Diana melakukan penyelundupan hukum dengan cara memalsukan alamat Anuar agar tidak datang saat sidang perceraian. Anuar telah meminta penetapan hak asuh anak dari pengadilan Malaysia dan diputus bahwa Anuar yang berhak atas hak asuh anak karena Diana nusyuz (membangkang/durhaka) sehingga pihak Anuar akan melakukan upaya hukum untuk mendapatkan penetapan hak asuh anak di Indonesia.
Menurut teori Hukum Perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, dimana pada kasus ini perkawinan merupakan perkawinan yang sah dan anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya dibuktikan dengan dokumen akta lahir dan status kewarganegaraannya. Hukum di Indonesia menganut asas terjadinya peristiwa sehingga berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2006 karena anak dalam kasus ini dilahirkan di Malaysia status kewarganegaraan Malaysianya adalah sudah tepat, tetapi dalam pasal 4 anak dapat memiliki kewarganegaraan ganda terbatas karena memenuhi ketentuan anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNA dan ibu WNI. Dalam kasus ini perlu dipahami apakah hukum negara asing dapat di eksekusi di Indonesia, karena Anuar WNA telah mendapatkan hak asuh anak melalui penetapan pengadilan Malaysia. Berdasarkan pasal 436 Rv Putusan Hakim/ Pengadilan Asing dapat dijadikan bahan dasar landasan mengajukan gugatan baru di depan hakim /Pengadilan Indonesia.
Akibat putusnya perkawinan campuran terhadap anak adalah permasalahan mengenai kewarganegaraan/status personal anak yang ditentukan status kewarganegaraan Ayahnya selama masa perkawinan, akan tetapi jika dalam putusan perceraian ditetapkan Ibu WNI yang berhak atas hak asuh anak maka berdasarkan pasal 29 ayat 3 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ibu dapat memohon perubahan status kewarganegaraan anak agar menjadi berkewarganegaraan sama dengannya. Hal ini merupakan terobosan baru untuk memberikan perlindungan bagi ibu dan anak yang berbeda kewarganegaraan sehingga jika anak tinggal di Indonesia tidak perlu melalui proses berkepanjangan karena status kewarganegaraannya karena hukum kewarganegaraan di Indonesia menganut asas ius sanguinis (blood line) dimana apabila seorang laki-laki asing menikah dengan wanita Indonesia, anak yang lahir dari wanita Indonesia ini secara otomatis mengikuti kewarganegaraan yang dianut bapaknya. Meskipun anak belum berusia 18 tahun, Anuar tetap berhak mendapatkan hak asuh karena berdasarkan keterangan yang diberikan Diana sering memukuli anaknya sehingga menurut Pasal 2 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak menentukan penyelenggaraan perlindungan anak untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, sebagaimana juga hak sosial anak dalam Pasal 27 ayat (1) Konvensi Hak-hak Anak (Convention Of The Rights Of The Child) Jo. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka Anak berhak untuk hidup di lingkungan yang baik karena akan mempengaruhi perkembangan anak meskipun dalam usia yang masuk dalam kriteria mumayyiz dan seharusnya dalam asuhan ibunya. Sehingga majelis hakim harus mempertimbangkan mengenai prinsip awal hak asuh anak yaitu hak anak untuk mendapatkan kasih sayang orang tua baik ayah maupun ibunya. Apabila dapat dibuktikan Ibu Diana melakukan kekerasan, menghalangi hak anak untuk menerima kasih sayang ayahnya maka tidak berhak atas hak asuh anak dan sudah seharusnya hakim yang memutus perkara mempertimbangkan mengenai tempat kelahiran, status kewarganegaraan dan hubungan psikologis anak dengan orangtuanya.
Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks!