Dampak Anak Dijadikan Alasan Untuk Bertahan Di Rumah Tangga Yang Toxic
Masih ingatkah dengan peristiwa KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dialami oleh public figure bernama Lesti Kejora? KDRT yang dilakukan oleh suami Lesti membuat Lesti hingga dilarikan ke rumah sakit menjalani pengobatan di bagian tubuh yang mengalami luka lebam. Tentu perbuatan KDRT tersebut dilaporkan oleh pihak Lesti (ayah kandungnya), namun tak disangka ketika Lesti telah selesai menjalani perawatan di rumah sakit, laporan tersebut dicabut olehnya dengan alasan masih ingin mempertahankan hubungan rumah tangganya demi sang anak. Apabila telah mengalami KDRT tetapi berujung ingin mempertahankan rumah tangga demi anak, apakah putusan tersebut tidak akan berdampak untuk hubungan rumah tangga maupun anak kedepannya?
Pilihan Lesti untuk tetap mempertahankan rumah tangganya demi sang anak pasca KDRT apakah bisa diartikan Lesti mempertahankan hubungan rumah tangga yang tidak sehat demi anaknya? Peristiwa KDRT sendiri tentu menyisakan trauma pada korban serta dapat mengganggu kesehatan psikologis korban. Bagaimanakah pendapat para tokoh psikologi dalam persitiwa tersebut? Mari kita simak alasan atau dampak mempertahankan hubungan yang kurang sehat dengan alasan bertahan demi anak.
Hubungan rumah tangga yang telah mengalami KDRT atau tidak harmonis lagi, apakah lebih baik bercerai? Bercerai pun masih menimbulkan akibat hukum pada anak maupun orang tua, harus menentukan hak asuh anak serta mendapat status janda dan duda. Belum lagi dari masyarakat anak dari perceraian selalu mendapat gelar “anak broken home”. Mengutip pendapat dari wawancara jurnalis Psychology Today dalam laman tirto.id, anak dari keluarga “broken home” diyakini memiliki perkembangan mental yang buruk sebab mereka tidak pernah mempunyai gambaran keluarga yang utuh serta memiliki trauma keromantisan di masa depan. Lantas mengapa masih ada orang tua yang mempertahankan rumah tangga walaupun sudah tidak harmonis? Tirto.id memaparkan hasil wawancara dengan anak dari keluarga broken home, mereka berbagi apa yang mereka alami ketika berada dikehidupan orang tua yang tidak harmonis.
Mereka bisa beranggapan bahwa orang tua mereka mempunyai prinsip tumbuh kembang anak akan jauh lebih baik apabila melihat orang tuanya utuh, sehingga walau berada dalam rumah tangga yang kurang baik orang tua enggan melakukan perceraian hanya demi perkembangan anak. Perceraian seringkali dianggap perbuatan yang kurang baik karena telah mengakhiri sebuah pernikahan yang begitu sakral. Sehingga memilih untuk bertahan demi anak, menghindari perebutan hak asuh anak pasca bercerai serta dengan alasan demi terciptanya kestabilan ekonomi, ada juga karena keyakinan agama yang melarang perceraian. Apakah agama Islam termasuk agama yang melarang umatnya untuk melakukan perceraian? Dalam pa-panyabungan.go.id dijelaskan bahwa perceraian memang tidak dilarang dalam agama Islam, namun Allah membenci sebuah perceraian. Dijelaskan pula oleh hadis yang diriwayatkan seluruh penulis Sunan, berbunyi (Rasulullah bersabda, “Istri mana pun yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan, maka aroma surga diharamkan baginya.”)
Sebagian orang yang lebih memilih untuk mempertahankan rumah tangga yang kurang baik demi anak justru tidak memikirkan dampak buruk yang akan diterima oleh anak ketika beranjak dewasa. Dampak buruk apa saja kah itu? Idntimes.com memaparkan 5 alasan mempertahankan rumah tangga kurang sehat demi anak tidaklah benar, kelima alasan tersebut adalah:
- Anak menyadari bahwa orang tuanya tidak lagi mencintai satu sama lain
- Anak akan membandingkan orang tuanya sendiri dengan orang tua teman-temannya
- Tidak menjadi contoh yang baik untuk anak
- Membuat anak merasa tertekan karena sering mendengar orang tua bertengkar
- Mereka bisa merasa kurang mendapat kasih sayang