Setelah Bercerai, Istri Berhak Dapat Nafkah Dari Suami

Siapa sangka setelah bercerai, istri masih mendapat nafkah dari suami? Bukankah kewajiban suami menafkahi istri ketika menjalani rumah tangga? Tentu tidak, setelah suami istri bercerai, kewajiban suami memberi nafkah tidak hilang begitu saja. Tetapi nafkah yang diberikan suami kepada istri yang telah diceraikan tersebut bermacam-macam, yaitu nafkah madhiyah, nafkah iddah, nafkah mut’ah, dan nafkah hadhanah. Apa maksud dari jenis nafkah tersebut? Bagaimana aturan memberinya?

Dalam agama Islam, jenis nafkah tersebut tidak dicantumkan secara detail dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), tetapi ketika sepasang suami istri bercerai, istri berhak menuntut suami untuk memberikan nafkah tersebut melalui sidang di Pengadilan. Pengertian lebih lanjut dari jenis-jenis nafkah tersebut yaitu:

  1. Nafkah Madhiyah, yang biasa disebut nafkah masa lampau yaitu nafkah terdahulu yang sengaja tidak diberikan suami kepada istri ketika masih terikat perkawinan;
  2. Nafkah Iddah, yaitu nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri ketika terjadi cerai talak. Dimana dalam perceraian yang mengajukan gugatan ke Pengadilan adalah pihak suami, kapan waktu yang tepat untuk memberikan nafkah iddah? Nafkah ini diberikan selama jangka waktu 3 bulan 10 hari dan mulai diberikan ketika mantan suami melakukan ikrar talak didepan majelis hakim. Besarnya nafkah iddah ditentukan oleh hakim yang akan disesuaikan dengan kemapuan mantan suami;
  3. Nafkah Mut’ah, nafkah mut’ah bisa juga disebut nafkah penghibur, bentuknya dapat berupa uang maupun benda, yang mana diwajibkan bagi mantan suami ketika perkawinannya cerai disebabkan karena talak dari suami;
  4. Nafkah Hadhanah (Nafkah Anak), apabila perkawinan berakhir dengan perceraian dan ada anak yang berusia dibawah 21 tahun serta hak asuh anak berada pada mantan istri, maka mantan suami wajib untuk memberikan nafkah anak kepada istri. Untuk nafkah anak biasanya besarnya 1/3 dari penghasilan suami. Tetapi bisa diputuskan oleh hakim sesuai dengan dokumen penghasilan dalam pembuktian di Pengadilan.

Dari keempat jenis nafkah tersebut, dapat dituntut oleh istri ke Pengadilan ketika perkawinannya putus karena talak dari pihak suami. Namun nafkah iddah dan nafkah mut’ah berhak diperoleh istri apabila pihak istri yang menggugat cerai suami, dengan catatan istri tidak dalam keadaan nusyuz (terjadi perselisihan yang menyebabkan rumah tangga tidak harmonis dan disebabkan oleh istri yang tidak taat kepada suami maupun istri tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan hukum Islam), hal tersebut dikonfrimasi dalam Rumusan Hukum Kamar Agama bagian Hukum Keluarga dalam SEMA No. 3 Tahun 2018 halaman 15, yang berbunyi “……istri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah dan nafkah iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz.”

Contoh dikabulkannya tuntutan nafkah iddah dan nafkah mut’ah dapat ditemui pada Putusan PA Jakarta Selatan No. 2615/Pdt.G/2011/PA.JS, yang mana dalam kasus cerai gugat tersebut, Hakim memutuskan mantan suami sebagai Tergugat wajib memberikan nafkah kepada mantan istrinya selaku Penggugat dengan ketentuan:

  1. Hadhanah kepada Penggugat setiap bulan minimal sejumlah Rp. 4 juta sampai anak tersebut dewasa dan mandiri atau berumur 21 tahun;
  2. Nafkah Iddah kepada Penggugat selama 3 bulan sebesar Rp. 10 juta.

Mengapa hanya ditetapkan untuk wajib memberi nafkah hadhanah dan nafkah iddah? Hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, iddah, mut’ah, maupun hadhanah tentu mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta terkait kemampuan ekonomi mantan suami maupun kebutuhan hidup mantan istri beserta anak-anaknya.

Leave a Comment